SEJARAH DESA TELUK KIJING

Asal Muasal Desa Teluk Kijing ,,

Puyang Candi ( puyang saw ) adalah julukan dari Ki Abdullatif Bin H. Somad Bin Halimah.

Nama Puyang Candi diambil dari penemuan Batu Bata yang berbentuk candi di areal makam tersebut, makam itu terletak tak jauh dari persimpangan antara sungai musi dan sungai batang hari leko di desa Teluk Kijing.

Teluk Kijing memiliki asal nama desa yang sangat unik di ambil dari nama hewan dan air, desa Teluk Kijing adalah salah satu desa tertua yang ada di kecamatan Lais Musi Banyuasin, karena sebelumnya ada pemerintah desa, desa tersebut di perintah oleh pesirah atau setingkat Camat.

Desa Teluk Kijing di ambil dari nama aliran sungai musi dimana terdapat sebuah Teluk yang banyak terdapat Kijing (sejenis Kerang Sungai) yang artinya muara sungai terdapat hamparan Kijing.

Ki Abdullatif mempunyai Istri bernama Sunaryah Bin Ahad Binti Sukarmi,dan mempunyai anak berjumlah 5 (Lima) orang bernama :
Sukartini
Ujang Azhari
Soleh
Ibrahim
Sohibah

Berasal dari Jawa Tengah ia pergi merantau ke Palembang setelah itu pergi menuju Teluk Kijing Kecamatan Lais Kab. Musi Banyuasin pada Tahun 1620-1670 M.

Ia mempunyai kesaktian :
– Bisa berjalan di atas air
– Menjinakkan binatang liar seperti Buaya, Ular Dll
– Mencari ikan
– Pengobatan Dll

Pada waktu merantau ia membawa alat musik tradisional Jawa seperti Kromong, Gendang, Gong Dll. Gong di gunakan selain untuk bermain musik juga di gunakan untuk:
Pemberitahuan masuknya waktu maghrib dan Imsak pada bulan Ramadhan (Puasa).
Sebagai Tawak-tawak (alat bunyi yang di gunakan untuk mengumpulkan warga) ketika ada berita atau hal-hal yang akan di sampaikan pada warga.
Sebagai pertanda adanya musibah atau huru-hara di dalam kampung.

Semenjak kepergiannya (Meninggal) Gong tersebut menghilang entah di mana, sampai saat ini masyarakat tidak mengetahui dimana pasti keberadannya ada yang mengatakan di dalam sungai musi pertemuan antara sungai musi dengan sungai batang hari leko, ada juga yang mengatakan tertanam di dalam tanah.

Menurut cerita warga desa Teluk Kijing I dan Teluk Kijing II kecamatan Lais, makam puyang Candi sangat berkaitan erat dengan berbagai cerita yang pernah terjadi di desa teluk Kijing, pada Tahun 1994 mayoritas Masyarakat Teluk Kijing pernah mendengar suara keras semacam bunyi GONG dari arah sungai musi tak jauh dari makam tersebut, tak lama kemudian terjadi bencana kebakaran yang mengakibatkan puluhan rumah warga mengalami kebakaran.

Ada juga kejadian tenggelamnya kapal pencari ikan yang tenggelam ratusan tahun silam, saat menjaring ikan tiba-tba tersangkut dengan rantai emas yang merupakan tali dari sebuah Gong, kemudian nelayan terebut menarik rantai tersebut dengan tujuan hendak mengambil Gong tersebut, namun tiba-tiba di dekati oleh sebuah Burung yang mengatakan ”sudah cukup, jangan di tarik lagi”, namun sang nelayan masih saja menarik rantai tersebut hingga membuat Burung yang di duga Jelmaan Puyang Candi marah dan menabrakkan kapal nelayan tersebut hingga pecah dan karam.

Makam puyang candi pertama kali ditemukan pemilik kebun yang tak lain orang tua dari kades Teluk Kijing I bernama Margareta pada tahun 1970-an, sebuah makam tua yang memiliki nisan di bagian depan dan belakang yang saat ini sudah terlihat rapuh.peninggalan sejarah adalah susunan batu bata yang menyerupai candi.

Hingga saat ini masyarakat percaya kalau bunyi GONG sebagai tanda bahaya atau musibah yang akan menimpa masyarakat desa tersebut,seperti kena penyakit, kebakaran, kelaparan dll.

Cerita Dibalik Kebiasaan Warga Makan Tanah di Teluk Kijing

Salah seorang warga menunjukkan tanah yang bisa dimakan di Desa Telukkijing, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Tanah yang biasa dikonsumsi Desa Telukkijing II, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), tidak terlepas dari ceritanya yang panjang. Cerita asal muasal tanah ini hampir sama dengan Malin Kundang (di Sumatera Barat). Konon, ada seorang pemuda bernama Dempo Awang.

Sekitar tahun 1800-an, Dempo Awang merantau ke Palembang menumpang sebuah kapal. Di Palembang dia berkenalan dengan anak Ginde yang kemudian memberinya modal untuk berjualan. Pada akhirnya, dia juga menikahi anak Ginde yang memiliki paras cantik jelita, dengan sebutan Putri Ginde. Beberapa tahun kemudian, Dempo Awang diajak istrinya jalan-jalan menyusuri Sungai Musi menggunakan kapal pribadi yang disebut Kapal Rejong. Saat melintas di Desa Telukkijing, kapal bermuatan beras, ketan, gandum dan kebutuhan pokok lainnya itu tiba-tiba rusak. Dengan berat hati, Dempo Awang yang tahu desa itu tanah kelahirannya pun terpaksa menepi.

Mendengar kabar anaknya pulang dan telah menjadi saudagar kaya, dengan bergegas ibu Dempo Awang menyambutnya. Sang ibu mendatangi kapal di tepi Sungai Musi. Sayang, meski tahu itu ibunya, Dempo Awang tak mau mengakuinya. Singkat cerita, sambil menangis sang ibu berdoa jika memang Dempo Awang benar anaknya, dia mohon Tuhan memberikan hukuman. Tak lama setelah sang ibu berdoa, tiba-tiba terjadi hujan petir disertai angin kencang, membuat kapal Dempo Awang beserta isinya tenggelam. Konon, mayarakat setempat meyakini persediaan makanan Dempo Awang menjadi tanah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tanah Tanampo Sakti.

Menurut masyarakat Teluk Kijing, hingga saat ini tumpukan bahan makanan Dempo Awang yang sudah menjadi tanah masih sering dikonsumsi warga. Warga percaya, tanah tersebut memiliki khasiat dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sekarang
tanah itu hanya bisa dilihat ketika air surut, biasanya di bulan Agustus.

Komentar