Pembohongan Sejarah

Perayaan Hari Kartini Adalah Pembohongan Sejarah! Redaksi – Sabtu, 6 Sya'ban 1439 H / 21 April 2018 10:52 WIB Sekolah Kartini berasal dari fasilitas atau kekayaan suami dan keluarganya yang kebetulan memang pembesar di Jepara waktu itu. Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda dengan harta dan tabungan pribadinya sendiri ketika ia membeli sebidang tanah dan mendirikan sekolah di sana. Memang, tidak murni seluruhnya harta pribadi, karena bupati Bandung pun ikut menyumbang, tapi dalam perkembangannya, biaya renovasi dan perawatan sekolah menggunakan harta pribadi Dewi Sartika sendiri hingga berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Bertahun-tahun setelah itu Sakola Istri menginspirasi perempuan-perempuan Sunda untuk mendirikan sekolah-sekolah serupa. Sehingga pada tahun 1920 tiap kabupaten di Pasundan memiliki sekolah perempuan, bahkan Sakola Kautamaan Perempuan menyebar hingga Bukittinggi yang didirikan oleh Encik Rama Saleh. See, tidak hanya di daerah Jepara dan Rembang. Namun rekayasa kolonial mengerdilkan nama Dewi Sartika dan jasa-jasanya kepada perempuan, rakyat biasa, bangsa ini. Pemerintah kolonial lebih suka “menerbitkan” Kartini ketimbang Dewi Sartika. Ini tidak aneh, mengingat Ayah Dewi Sartika, Raden Rangga Somanegara, adalah seorang anti pemerintah kolonial Belanda. Rangga Somadinata sendiri dibuang pemerintah kolonial ke Ternate hingga meninggal disana. Jelas terlihat, jika Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang berkolaborasi dengan penjajah, Dewi Sartika memang lahir dari keluarga pejuang dan berjuang untuk melawan penjajahan melalui pencerdasan kaum perempuan. Jika Kartini hanya beretorika emansipasi perempuan melalui surat-suratnya, Dewi Sartika tidak. Dewi Sartika konsisten menolak dijadikan istri muda atau selir dan praktik langsung menjadi guru di sekolah-sekolahnya. Kartini terkenal melalui tulisan-tulisannya. Tulisan Kartini menyebar hingga ke Eropa karena mediasi tokoh-tokoh emansipasi Belanda. Inilah perbedaannya dengan Dewi Sartika. Tulisan Kartini bisa dibaca generasi setelahnya. Hasil kerja langsung Dewi Sartika juga bisa dinikmati generasi berikutnya. Tapi ide Dewi Sartika tidak tertulis sehingga tidak terdokumentasi oleh sejarah, terlebih perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial waktu itu. Berarti karena Dewi Sartika tidak menulis maka ia kalah populer dibanding Kartini? Tidak juga. Roehanna Koeddoes (1884-1972) adalah wartawati pertama Indonesia. Tulisan-tulisannya menyemangati perempuan-perempuan bangsa untuk berfikir maju dan berkiprah sama dengan kaum laki-laki. Roehanna mendirikan sekolah untuk perempuan di Kotagadang yang memberikan pelajaran tulis-menulis, budi pekerti, dan keterampilan lain. Roehanna juga merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu “Soenting Melajoe.” Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya. Jasa Roehanna amatlah besar, tak kalah dengan jasa Kartini maupun Dewi Sartika. Tapi mengapa hanya Kartini yang terkenal? Lagi-lagi terjadi diskriminasi dalam manuskrip sejarah Indonesia. Roehanna dan Dewi Sartika bukan berasal dari Jawa dan tidak berhubungan baik dengan pemerintah kolonial. Maka perayaan Hari Kartini hanyalah pembohongan kepada generasi muda bangsa ini yang dibutakan wawasannya sehingga berfikir betapa luar biasanya jasa Kartini dibanding wanita pahlawan lain. Prof Harsya menunjuk 2 nama pahlawan lagi sebagai pembanding. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun wanita. Yang kedua adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun wanita. Anehnya dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kartini sudah pasti masuk. Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Kartini mungkin berjasa. Tapi jangan sampai pengkultusan padanya justru menghilangkan jasa wanita pahlawan lain yang menurut saya jauh lebih berjasa. Tidak perlu ada Hari Kartini dengan parade kebaya-kebayaan! (ts/sumber: illegalbloging.wordpress.com)

Komentar